Rabu, 18 Maret 2015

TOKOH & PEMIKIRAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH - Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya Al-Asy’ari

Riwayat Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[5] Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[6]

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.


Tokoh-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah

a.     Abu Hasan Al-Asy’ari

b.    Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)

c.    Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)

d.   Al-Ghazali (505 H = 1111 M)

e.    Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)

f.     Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)


Metode Asy’ariah

Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).

Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.

Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.

Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.


Pandangan-pandangan Asy’ariah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:

a.         Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.

b.        Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.

c.          Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.

d.        Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.

e.         Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

f.         Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.

g.         Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[8], sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.

Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.

Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.

Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[9] Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.

Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.

Formulasi pemikiran Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di sisi lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt barang kali di pengaruhi teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn kullab). Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut ini:

Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).[10]

Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a.        Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di jelaskan secara alegoris.[11]

Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[12]

b.        Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah  yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[14]

c.         Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.[15]
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.[16]

d.        Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:[19]

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)

e.         Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[20]

f.          Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.[21]

g.         Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[22] Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[23]

6.     Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMBELAJARAN X MIPA 3 & X IPS 2

BERLOMBA DALAM KEBAIKAN Untuk Kamis, 26 Maret 2020 & Jum'at, 27 Maret 2020 Belajar dari rumah, minggu kedua efek "Epidemi ...