Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir
bin Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok
Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi
pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan
pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada
tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru
kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid
Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang
ketua Muktazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham
Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang
ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan
antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah
(kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada
bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya,
“Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku,
karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang
pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada
sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga
pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah,
Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari
menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah
itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah
bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan
keburukan-keburukannya.[5] Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi
Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari
telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada
malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu,
Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[6]
Setelah
itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya
menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul
Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang
pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
Tokoh-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah
a. Abu Hasan Al-Asy’ari
b. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)
c. Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)
d. Al-Ghazali (505 H = 1111 M)
e. Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
f. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)
Metode Asy’ariah
Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan
al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari
pada ibtida’ (Membuat bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist
yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini
merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya
mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist),
mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas
tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari
makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian
yang di maksud.
Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena
bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat
islam melakukan kjian rasional.
Pada prinsipnya kaum Asy’ariah
tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di
lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan
menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling
membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang
sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.
Pandangan-pandangan Asy’ariah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
a.
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,
seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan
cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
b. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
c. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
d. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
e.
Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
f.
Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu
seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya,
melainkan tidak seperti apa pun.
g. Menolak konsep
tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[8], sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada
kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.
Berkenaan
dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid,
melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi
mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan,
dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata,
“Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena
kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman.
Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid,
mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu
makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu
yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini
bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk.
Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut
Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya,
Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[9] Karena
Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan
memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun
yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus
pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut
Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan
kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada
para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Formulasi pemikiran Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah upaya
sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah
di sisi lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt barang
kali di pengaruhi teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn
kullab). Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut
ini:
Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali
dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab
(w 854 M).[10]
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah
(antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan
sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain
pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki,
telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah,
melainkan harus di jelaskan secara alegoris.[11]
Al-asy’ari
berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah,
melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah).
Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri,
tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari
esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[12]
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dalam
hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta
mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni
Jabariah yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata
dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat
bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta
(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan
segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[14]
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun
Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan
wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.[15]
Dalam
menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada
wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.[16]
d. Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah
mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim
serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa
Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah
bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah
qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi
Allah dan karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an
bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai
dengan ayat:[19]
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka
jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)
e. Melihat Allah
Al-asy’ari
tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah
yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai
bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan
mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat.
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[20]
f. Keadilan
Pada
dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa
Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik
mutlak.[21]
g. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[22] Mengingat
kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena
itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufr.[23]
6. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini
menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq
dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin
berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada
di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad
adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta
sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar
ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah
periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah
Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar